Tamu
Saban senja, di jembatan sungai hulu Nong menunggu Tamu. Tiga kali bertemu, Tamu selalu membawanya senyum dan kabar yang selalu ia tunggu. Si Tamu adalah pakar pencerita. Tahu bagaimana membuat Nong terpukau. Kabar yang dibawa bukan dongeng angin-anginan semata. Nong banyak mendengar isu-isu seputar negeri gemilangnya dan seputar rantau beserta isi-isinya. Di sela-sela Tamu bercerita, Nong akan bertepuk tangan dan terkadang mukanya kuyu. Kisruh mendengar keluh dari mulut Tamu.‘’Hutan negeri Riau ini luasnya hampir sembilan juta hektare, Nong. Potensi alamnya banyak. Sudah banyak tempat yang kujelajah seputar negeri ini. Hutan adat Rumbio, hutan Buluh Cina, Semenanjung Kampar dan banyak lagi. Hutan-hutan itulah yang nantinya dipersiapkan sebagai penyelamat dunia dan mengurangi emisi. Sayang Nong, pembalakan liar masih sering terjadi,’’ jelas Tamu dengan kaki menjuntai ke arus sungai Hulu.
‘’Dan sekarang, aku di sini untuk membantu pengembangan program masyarakat desa konservasi. Desa kau akan dikembangkan untuk menjadi bagian kawasan ekowisata.’’
Nong tak tahu apa itu ekowisata. Tapi ia tahu, makna ekowisata itu pastilah berkonotasi dengan alam dan hal itu baik. Bukan main, pikir Nong. Di sampingnya, suara Tamu meningkahi desau air sungai Hulu.
***
Nong menatap Tamu dan tersenyum geli. Di depannya sebongkah kue berlapis gula tebal dan sebatang lilin merah bergoyang-goyang nyalanya ditiup angin. Tamu bilang ini adalah sebuah kejutan yang disiapkan untuk Nong. Susah payah Nong jelaskan, tradisi orang Melayu macam Nong, tak mengenal kata upacara ulang tahun. Satu kali pun dalam hidup Nong tak pernah nampak orang-orang kampungnya meletakkan kue gula dan lilin berwarna kemudian meniupnya. Sebelumnya, pejam mata dulu seolah khusyuk mengirim doa-doa. Itu budaya bangsa Barat. Tak elok ngikut budaya orang, tak serasi dengan orang-orang Melayu kampung, senyum Nong. Tamu terperangah lalu mengangguk pelan-pelan.
Tamu membuang batang lilin itu ke tengah sungai. Membagi dua potongan kue sama besar dan mereka menikmati dalam diam. Senja menelikung perlahan. Sebelum pulang, Tamu bilang ia akan bepergian beberapa hari.
‘’Ke mana?’’ tanya Nong.
‘’Menjelajah.’’
Selama Tamu tak kunjung muncul di sungai Hulu, Nong berkubang dengan rindu. Petang jadi ambang tempat ia menggerutu. Ia biarkan angin sungai Hulu meriapkan rambutnya selama ia menunggu sesuatu yang belum ia temu.
***
Nong berseri-seri. Di depannya Tamu mengibas air sungai. Melambaikan tangan pada Nong.
‘’Kemari Nong, ada oleh-oleh dari rimba Siak kecil yang kubawa untuk kau.’’
Tamu mulai berkicau. Betapa jauhnya ia mengembara ke jantung hutan biosfer itu. Tamu membuka tasnya dan mengeluarkan berlembar-lembar photo. Nong terkesima. Tamu puas melihat ekspresi di wajah bulat kuning manis di depannya.
‘’Nama latinnya Grammatophyllum Speciosum Blume. Tengok ini Nong, eksotis benar kelopaknya. Mengalahkan anggrek kahyangan yang kau sayang-sayang tu,’’ senyum Tamu kepada Nong.
Nong tak berkata sepatah pun. Cuma mengusap lembaran-lembaran yang saling tumpang tindih di telapak tangannya.
‘’Sayang ya Nong, aku tak bisa mengambilnya untukmu. Aku bersama rombongan dari balai konservasi dan para ranger tu. Bisa-bisa kena masalah aku nanti,’’ katanya lagi.
‘’Dulu...’’ Nong membuka suara. ‘’Waktu itu aku berumur sebelas dua belas tahunan. Bapak tiriku dan abangku Anjang membawa anggrek macan ini dua. Yang pada bapakku diletakkan di pangkuan emak. Bunga pada Anjang kutanam dalam pot luar jendela. Pada hari itu, pertama kalinya aku lihat emak mencium bapakku dengan berurai airmata.’’
Air di ujung kaki Tamu berhenti berkecipak.
‘’Bapak tiriku bahkan lebih penyayang dari bapak kandung kami. Ia lebih tahu menyenangkan hati kami. Mengerti bahwa emak perempuan penyuka bunga. Apalagi dengan segala jenis anggrek. Emak ketika itu kritis karena radang lambungnya makin parah. Dalam kondisi itu, permintaan terakhir emak adalah hendak melihat anggrek cantik ini,’’ Nong mengusap mata.
‘’Empat pekan lamanya bapak dan Anjang keluar masuk rimba. Pada petang Jumat, bersama Yong Selamun dapatlah barang yang dicari. Anggrek pada emak di gantung bapak di jendela kamar. Supaya emak dapat puas-puas menatapnya bermandikan cahaya pagi. Saat emak meninggal, kedua anggrek itu ikut mati,’’ Nong menutup kisah tersedu-sedu.
Tamu terpaku. Iba ia melihat Nong. Dialihkan pandang pada foto-foto itu.
‘’Ini anggrek tercantik ya Nong, The queen of orchid, bangsa kami menyebutnya. Yang langka selalu berharga dan amat sukar dicari.’’ Tamu berkata pelan.
‘’Ya. Anggrek bunian. Begitulah orang tua-tua kampung sini menyebutnya. Mari kita pulang, dah gelap tanah ni,’’ ajak Nong.
Nong dan Tamu pulang. Nong ke arah timur dan Tamu ke arah barat. Dalam jarak dua puluh langkah Tamu berbalik dan berteriak di belakang Nong.
‘’Nong, kau mau anggrek itu menghias rumahmu lagi?’’
‘’Ya, ingin benar hati mendapatkannya lagi,’’ angguk Nong polos.
Tamu melambaikan tangan. Secepat ia membalikkan badan, secepat itu pula ia berlari sepanjang jembatan. Nong menunggu sampai tubuh Tamu lesap di tikungan. Kemudian ia mengalah pada luapan air yang mengabur di retinanya. Rasa haru berkecambah dalam dada Nong. Emak dan Tamu, kini mereka bergumul dalam kalbu.
***
Pagi-pagi Nong dapati selembar surat tergeletak di teras. Terikat dengan setangkai anggrek bulan dengan kuntum-kuntumnya yang meriah. Nong membaca dan tersenyum. Membaca untuk kedua, ketiga dan kesekian kali. Nong tersenyum lagi. Seharian itu, ia menatap langit dan merasakan sendiri dalam sepi, pelangi di ufuk senja telah melangkahi hati muda perawannya. Berhari-hari air mukanya berseri-seri.
***
Di pagar bilah bambu, bapak berdiri berhadapan dengan Zaman, bujang lapuk polisi hutan. Percakapan mereka diamati Nong dari serambi. Setelah anggukan cepat dari bapak, Zaman berpamitan. Masih sempat ia edar pandang pada gadis ikal mayang yang baru bangun tidur. Rambutnya serupa sulur di wajah pualamnya. Hasrat jantan Zaman menggeliat.
‘’Ada apa Pak?’’ tanya Nong selepas kepergian Zaman.
‘’Orang asing utusan balai konservasi tu sudah lima hari hilang kabarnya. Jejaknya tenggelam di hutan sana,’’ jelas bapak tirinya sambil mengambil batu asah di anak tangga.
‘’Maksud Pak, Tamu yang datang ke kampung kita?’’ darah Nong terkesiap. Suaranya gemetar.
Bapaknya mengangguk. Sebelum berlalu, lelaki tua itu berkata pada Nong. ‘’Nong, Zaman berkirim salam padamu tadi.’’
Dua hari kemudian, Tamu ditemukan orang-orang di rawa-rawa gambut. Tubuh biru lebam dan membengkak di beberapa bagian. Darah kering menodai kepalanya. Pawang Selamun mengangkat tinggi kaki kiri Tamu. Semua bisa melihat di bawah mata kaki terdapat beberapa bekas patukan. Pawang tua itu menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala. Orang-orang mahfum. Hutan beserta seisinya telah menganiaya orang asing satu ini.
***
Sebulan setelah kematian Tamu, Nong naik pelaminan. Di sebelah kanannya bersanding Zaman dengan raut muka lebih cerah dari siang. Sirat kebahagiaan terpancar dari bibirnya yang tak henti-henti tersenyum. Di pelaminan, Nong tak ubahnya mendung yang menentang langit utara yang panas dan terang. Tidak ada senyum manis molek dari bibirnya. Zaman tak memperhatikan hal itu. Lelaki itu tersenyum simpul, tahu bahwa gelar bujang lapuk itu telah tanggal dari dirinya. Tak merana lagi dalam dirinya akibat sering dikatai orang sekampung.
Zaman, polisi hutan yang beruntung. Telah lama ia mengincar anak gadis kemenakan Pawang Selamun. Bukan sekali dua ia merisik, tapi hasilnya nihil. Macam-macam usaha ia lakukan. Ia berbaik budi dengan keluarga Nong. Apa saja hal-hal dan benda kesukaan Nong, dapatlah termakbulkan olehnya. Meski Nong tak pernah meminta dan kebanyakannya ditolak. Satu-satunya benda yang dihargai oleh Nong adalah bunga hutan yang dibawa Zaman.
Seperti mendapat purnama dalam rengkuhan, seperti itulah bahagianya diri Zaman. Berdebar-debar hatinya saat Nong mengurai rambut di malam pengantin mereka. Segera ia mengambil air sembahyang. Sujudnya ia lakukan agak panjang. Tanda syukurnya ia pada Tuhan. Pada umur ke empat puluh tiga, ia beristrikan gadis berumur dua puluh tiga. Ia paling beruntung mendapat anak gadis paling cantik di kampung itu. Sementara Zaman menunaikan sholat sunatnya, Nong sabar menunggu di kelambu. Ada banyak waktu untuk Nong merenung suatu ketika dulu. Bersama Tamu.
Zaman masuk ke kamar. Diucapkannya salam pada Nong. Saat hendak mematikan lampu, nampak ia selembar photo yang tertempel di dinding. Diraihnya photo itu dan berkicaulah lelaki itu. Suatu masa dulu, bersama patroli dan para lelaki kampung itu mereka menemukan orang asing yang lama menghilang. Tamu, begitulah orang-orang kampung memanggilnya. Pria malang itu telah habis nyawanya. Apa yang menarik hatinya adalah anggrek yang erat dalam genggaman Tamu.
‘’Persis macam dalam foto ini,’’ kata Zaman.
‘’Rupanya dia jauh-jauh ke jantung hutan itu semata-mata hendak mencari anggrek langka dan liar ini . Sayang benar nyawanya terenggut sia-sia. Perbuatannya yang sembrono dan tak mengindahkan kata-kata Yong Selamun tu akhirnya berbuah naas baginya. Jangan sembarang masuk hutan, apalagi orang asing,’’ lanjutnya lagi.
Mendengar cerita Zaman, tumbanglah gadis ikal mayang di samping ranjang berkelambu. Lelaki itu menjerit panik. Sampai habis suara Zaman dan seluruh kerabat berdatangan. Pengantin perempuan tak bangun lagi. Zaman menangisi Nong dan nasib lama yang bakal menderanya.***